Hukum Perdata
1.
Lingkup
Hukum Perdata
1.1 Explanation of Civil Law
The civil law is any law governing the legal
relationship between one person and another person. In this definition there
are some elements that need to be addressed. These elements are :
-
Rechtsregel, rule of law
-
Rechtsbetrekking, legal relation
-
Persoon, person
Rule of law
Peraturan artinya rangkaian ketentuan mengenai
ketertiban. Peraturan itu ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum
artinya segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang
tegas terhadap pelanggarnya. Istilah “perdata” berasal dari bahasa Sangserketa
yang berarti warga (burger), pribadi (privaat), sipil, bukan militer (civiel).
Hukum perdata artinya hukum mengenai warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan
hak dan kewajiban.
Hubungan Hukum
Hubungan hokum adalah hubungan yang diatur oleh
hokum. Hubungna yang diatur oleh hokum itu adalah hak dan kewajiban warga,
pribadi yang satu terhadap warga, pribadi yang lain dalam hidup bermasyarakat.
Jadi, hubungan hokum adalah hak dan kewajiban hokum setiap warga atau pribadi
dalam hidup bermasyarakat. Hak dan kewajiban tersebut apabila tidak dipenuhi
dapat dikenakan sanksi menurut hokum.
Orang (person)
Orang (persoon) adalah subjek hokum, yaitu
pendukungb hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban ini dapat berupa
manusia pribadi dan badan hokum. Manusia pribadi dan badan hokum mungkin warga
Negara Indonesia dan mungkin juga warga Negara asing.
Manusia pribadi (natuurlijk persoon) adalah gejala
alam, makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang mempunyai akal, perasaan, kehenda.sedangkan
badan hokum (rechtspersoon) adalah gejala yuridis, badan ciptaan manusia
berdasarkan hokum.
Hokum perdata tertulis adalah hokum perdata yanjg
dibuat oleh pembentuk undang-undang, yang diundangkan dalam Staatsblad atau
Lembaran Negara. Contohnya adalah hokum perdata barat yang dibuat dalam B.W.
(KUHPdt) yang diundangkan dalam Stb. 1847-23, Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 yang diundangkan dalam L N. tahun 1974 No. 1.
Hokum perdata tidak tertulis adalah hokum perdata
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dibuat oleh masyarakat, bukan oleh
pembentuk undang-undang. Hokum perdata tidak tertulis lazim disebut dengan
istilah “hokum adat”. Hokum adat adalah mata kuliah yang berdiri sendiridalam
kurikulum Fakultas Hukum.
Hokum perdata dalam artia luas meliruti hukium
perdata, hokum dagang, dan hokum adat. Sedangkajn hokum perdata dalam arti
sempit hanya meliputi hokum perdata tertulis minus hokum datang, lazim, disebut
“hhukum perdata” saja.
Dalam pembangunan hokum tertulis, sebaiknya hokum
perdata dan hokum dagang disatukan saja dan dihimpun dalam satu kodofikasi
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan hokum adat tetap
dipeliharadan berkembang seirama dengan dinamika perkembangan masyarakat.
Hokum perdata masional adalah hokum perdata yang
mendukung hak dan kewajibannya mempunyai kewarganegaraan yang sama yaitu warga
Negara Indonesia.sedangkan huku8m perdata internasional salah satu pihak
pendukung hak dan kewajibannya adalah warga Negara asing.
1.2 Materi Hukum Perdata
Timbulnya hokum karena manusia hidup bermasyarakat.
Hokum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur
bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hokum
perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalm hidup bermasyarakat disebut “hokum
perdata material”, sedangkan hokum perdata yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu disebut “hokum perdata
formal”. Hokum perdata formal lazim disebut hokum acara perdata.
Hokum perdata material memuat dan mengatur segala
persoalan mengenai:
1. Orang
sebagai pendukung hak dan kewajiban (personenrecht)
2. Keluarga
sebagai unit masyarakat terkecil (familierecht)
3. Harta
kekayaan (vermogensrecht)
4. Pewarisan
(erfrecht)
2.
Sejarah
Hukum Perdata
2.1 Hukum Perdata Belanda
Hokum perdata Belanda berasal dari hokum perdata
Prancis, yang berinduk pada Code Civil Prancis. Pada zaman pemerintahan
Napoleon Bonaparte Prancis pernah menjajah Belanda dan Code Civil diberlakukan
pula di Belanda. Keudian setelah Belanda merdeka dan kekuasaan Prancis, Belanda
menginginkan pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri yang
terlepas dari pengaruh kekuasaan Prancis.
Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan
pembentukan kodifikasi hokum pedata Belanda. Pembuatan kodifikasi tersebujt
selesai tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan diberlakukan pada tanggal 1
Pebruari 1831. Tetapi dalam bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan dii daerah
selatan Belanda, yang memisahkan diri dari kerajaan Belanda yang sekarang
disebut Kerajaan Belgia. Karena pemisahan Belgia ini, berlakunya kodifikasi
ditangguhkan dan baru terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838.
Meskipun B.W. Belanda itu adalah kodifikasi bentukan
nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil Prancis.
Menurut Prof.Mr. J. van Kan, B.W. adalah saduran dari Code Civil, hasil
jiblakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2.2 Hukum Perdata Indonesia
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka B.W.
Belanda ini diusahakan supaya dapat diberlakukan pula di Hindia Belanda pada
waktu itu. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belandayang susunan dan isinya
serupa dengan B.W. Belanda. B.W. Belanda diberlakukan juga di Hindia Belanda
berdasarkan asas konkordansi (persamaan). B.W. Hindia Belanda ini disahkan oleh
Raja pada tanggal 16 Mei 1846, yang diundangkan melalui Staatsblad 1847-23 dan
dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan peraturan
peralihan UUD45, maka B.W. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum
digantikan oleh undang-undang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini. B.W.
Hindia Belanda ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sebagai
indul hokum perdata Indonesia.
Hokum perdata Indonesia adalah hokum perdata yang
berlaku di Indonesia. Hokum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hokum
perdata barat (Belanda), yang berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPdt), yang dalam bahasa aslinya disebut Burgerlijk Wetboek (B.W.). Burgerlijk Wetboek (B.W.) ini berlaku di
Hindia Belanda dulu. Sebagian materi B.W. (KUHPdt) ini sudah dicabut berlakunya
dan diganti dengan undang-undang R.I. misalnya mengenai perkawinan dan hak-hak
kebendaan (buku I dan II).
Di samping KUHPdt, hokum perata Indonesia itu
meliputi juga perudang-undangan hukum perdata buatan pembentuk undang-undang
Republik Indonesia, misalnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Keputusan Presiden No. 12 Tahun
1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaran Catatan Sipil.
2.3 B.W.(KUHPdt) sebagai Himpunan Hukum
tak Tertulis
B.W. Hindia Belanda diperuntukan bagi penduduk
golongan Eropah dan yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S. jo. 163 I.S.
Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan untuk warga Negara Indonesia keturunan
Eropah dan yang dipersamakan terus berlangsung. Keberlakuan yang demikian
adalah formal berdasarkan aturan peralihan UUD45.
Dalam Negara Indonesia merdeka berlakunya hokum
perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membeda-bedakan warga Negara
Indonesia berdasarkan keturunannya. Disamping itu memang materi yang diatur
dalam B.W.(KUHPdt) sebagian ada yang tidak sesuai dengan Pancasila dasar Negara
dan pandangan hidup nagsa Indonesia, dan tidak sesuai dengan aspirasi Negara
dan bangsa merdeka.
Pada tahun 1962 Dr. Sahardjo,S.H. Menteri Kehakiman
R.I. pada waktu itu mengeluarkan gagasan, yang menganggap B.W. (KUHPdt) dapat
dipedomani oleh semua warga Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang sesuai
dapat diikuti, sedangkan ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai lagi dapat
ditinggalkan.
2.4 Surat Edaran Mahkamah Agung R.I.
No. 3 Tahun 1963
Atas dasar gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo,
S.H. tersebut, Mahkamah Agung R.I. pada tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran
No. 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua
Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi surta edaran tidak berlaku lagi
antara lain pasal-pasal B.W. berikut ini:
1. Pasal
108 dan 110 B.W. tentang wewenang istri untuk melakukan perbuatan hokum dan
untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya.
2. Pasal
284 ayat 3 B.W. mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh
seorang perempuan Indonesia asli.
3. Pasal
1682 B.W. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahkan dengan akta
Notaris.
4. Pasal
1579 B.W. yang memntukan bahwa dalam hal sewa-menyewa barang
5. Pasal
1238 B.W. yang menyimpulakan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat
diminta di muka Hakim, apabila gugatan
ini didahulukan oleh suatu penagihan tertulis.
6. Pasal
1460 B.W. tentang resiko seorang pembeli barang, yang sudah dijanjikan dijual,
sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu
belum dilakukan.
7. Pasal
1603x ayat 1 dan 2 B.W. yang mengadakan deskriminasi antara orang Eropah di
satu pihak dan orang bukan Eropah di lain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
3.
Hukum
Perdata Nasional
Hokum
perdata nasional adalah hokum perdata yang diciptakan oleh Indonesia merdeka.
Criteria
hokum perdata berpredikat nasional adalah:
1. Berasal
dari hokum perdata Indonesia
2. Berdasarkan
sistem nilai budaya Pancasila
3. Produk
hokum pembentuk undang-undang Indonesia
4. Berlaku
untuk semua warga Negara Indonesia
5. Berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia
3.1 Berasal dari Hukum Perdata Indoensia
Hokum perdata barat sebagian sesuai dengan system
nilai budaya Pancasila. Hokum, perdata barat yang sesuai dengan system nilai budaya
Pancasila dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia. Hokum perdata tidak tertulis (buatan Hakim dan
hokum adat) yang sudah berkembang mempunyai nilai-nilai yang dapat diikuti dan
dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang dilanjutka
oleh ketetapan MPR No. II/1983 dan ketetapan MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN.
3.2 Sistem Nilai Budaya Pancasila
Sistem nilia budaya adalah konsepsi-konsepsi tentang
nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat.sistem
nilai budaya yang sangat kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat, sehingga
sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat (lihat
Koentjaraningrat, 1982 : 25-26).
System nilai budaya Pancasila ini berfungsi sebagai sumber
dan pedoman tertinggi bagi peraturan-peraturan hokum dan perilaku anggota
masyarakat bangsa Indonesia.
3.3 Produk hokum pembentuk
undang-undang Indonesia
Menurut UUD45 pembuat undang-undang adalah Presiden
bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 5 ayat 1 UUD45). Dalam GBHN 1978
digariskan bahwa pembinaan dan pembentukan hokum nasional diarahkan pada bentuk
tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hokum perdata nasional perlu
dituangkan dalam bentuk undang-unadang, bahkan diusungkan dalam bentuk
kondifikasi.
3.4 Berlaku untuk semua warga Negara
Indonesia
Hokum perdata nasional harus berlaku untuk semua
warga Negara Indonesia, tanpa memandang asal usul keturunannya, suku bangsa,
daerahnya, golongannya.
Keberlakuan hokum perdata nasional untuk semua warga
Negara Indonesia berarti menciptakan inifikasi hokum sesuai dengan penggarisan
GBHN, dan melenyapkan sifat diskrimiansi sisa politik hokum colonial Belanda.
3.5 Berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia
Wilayah Indonesai adalah wilayah Negara Republik
Indonesia, termasuk perwakilan-o\perwakilan Indonesia di luar negeri dan
kapal-kapal Indonesia.
Keberlakuan hukukm perdata nasional untuk semua
warga Negara Indonesia di seluruh wilayah Indonesia merupakan inifikasi hokum
perdata sebagai pencerminan system nilai budaya Pancasila, terutama nialai
dalam sila ketiga “persatuan Indonesia”. Hal ini sesuai dengan penggarisan GBHN
mengenai pembinaan hokum nasional.
4.
Sumber Hukum Perdata
4.1 Arti sumber hokum
Sumber hokum perdata ialah asal mula hokum perdata,
atau tempat di mana hokum perdata ditemukan.
4.2 Sumber dalam arti formal
Sumber dalam arti “sejarah asalnya” hokum perdata
adalah hokum perdata buatan pemerintah colonial Belanda yang terhimpun dalam
B.W. (KUHPdt). Berdasarkan aturan peralihan UUD45, B.W. (KUHPdt) itu dinyatakan
tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan unadang-undang baru berdasarkan
UUD45.
Sumber dalam arti “pembentukannya” adalah pembentuk
undang-undang berdasarkan UUD45. UUD45 ditetapkan oleh rakyat Indonesia, yang
didalamnya termasuk juga aturan peralihan. Atas dasar peralihan itu, B.W.
(KUHPdt) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentuk UUD Indonesia ikut
menyatakan berlakunya B.W. (KUHPdt).
Sumber dalam arti asal mula (sejarah asal dan
pembentuk) ini disebut sumber dalam arti formal.
4.3 Sumber dalam arti material
Sumber dalam arti “tempat” adalah Staatsblad ataun
Lembaran Negara di aman rumusan ketentuan undang-undang hokum perdata dapat
dibaca oleh umum. Selain itu, kepurusan Hakim yang disebut yurisprudensi
Mahkamah Agung mengenai warisan, mengenai badan hokum, mengenai hak atas tanah,
dan lain-lain. Sumber dalam arti tempat disebut “sumber dalam arti material”.
5.
Kodifikasi
dan Sistematika
5.1 Himpunan undang-undang dan
kodifikasi
Bidang hokum tertentu dapat dibuat dan dihimpun
dalam bentuk undang-undang biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang
bukum tertentu itu misalnya bidang hokum perdata, pidana, dagang, acara
perdata, acara pidana, tata Negara.
Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk
undang-unadang biasa, maka undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran
Negara itu masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang dibuat terpisah dalam
bentuk tertentu.
Apabila undang-undang itu dibuat dalam bentuk
kodifikasi, maka unsure-unsur yang perlu dipenuhi ialah sebagai berikut:
1. Meliputi
bidang hokum tertentu
2. Tersusun
secara sistematis
3. Mamuat
materi yang lengkap
4. Penerapannya
memberikan penyelesaian tuntas
Bidang-bidang tertentu yang dapat dikodifikasikan
dan sudah pernah terbentuk misalnya bidang hokum perdata, huku, dagang, hokum
pidana, hokum acara perdata dan acara pidana.
Kodifikasi berasak dari kata “copr” bahasa Prancis,
artinya kitab undang-undang. Kodifikasi artinya penghimpunan
ketentuan-ketentuan bidang hokum tertentudalam satu kitab undang-undang yang
tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas.
5.2 Sistematika kodifikasi
Sistematika kodifikasi adalah susunan yang teratur
dari suatu kodifikasi. Sistematika itu meliputi bentuk dan isi kodifikasi.
Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) meliputi urutan
bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
1. Kitab
undang-undang tersusun atas buku-buku
2. Tiap
buku tersusun atas bab-bab
3. Tiap
bab tersususn atas bagian-bagian
4. Tiap
bagian tersusun atas pasal-pasal
5. Tiap
pasal tersusun atas ayat-ayat
Sistematika isi Kitab Undanga-Undang Hukum Perdata
(KUHPdt) meliputi kelompok materi
berdasarkan system fungsional. System fungsional ini ada dua macam, yaitu
menurut pembentuk undang-undang (pembentuk B.W.) dan menurut ilmu pengetahuan
hokum.
Perbedaan sistematika antara sistematika B.W.(KUHPdt)
dan sitematika ilmu pengetahuan hokum adalah sebagai berikut :
1. Buku
I B.W.(KUHPdt) memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dann keluarga
(perkawinan). Sedangkan ilmu pengetahuan hokum hanya memuat ketenmtuan mengenai
manusia pribadi dan badan hokum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
2. Buku
II B.W.(KUHPdt) memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan ilmu
pengetahuan hokum hanya memuat ketentuan mengenai keluarga (perkawinan dan
segala akibatnya)
3. Buku
III B.W.(KUHPdt) memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu
pengetahuan hokum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda
dan perikanan
4. Buku
IV B.W.(KUHPdt) memuat ketentuan mengenai bukti dan kadaluarsa. Sedangkan ilmu
pengetahuan hokum memuat ketentuan mengenai bukti dan kadaluarsa termasuk
materi hokum perdata formal (hokum acara perdata).
6.
Berlakunya
Hukum Perdata
Berlakunya
hokum perdata artinya diterimanya hokum perdata untuk dilaksankan. Adapun dasar
berlakunya hokum perdata adalah ketemtuan undang-undang, perjanjian yang
disebut pihak-pihak dan keputusan Hakim.
6.1 Ketentuan Undang-Undang
Berlakunya hokum perdata karena ketentuan
undang-undang. Artinya undang-undang yang menetapkan diterimanya kewajiban hokum
untuk dilaksankan. Berlakunya hokum perdata bersifatb memaksa artinya kewajiban
harus dilaksankan, baik dengan berbuat maupun tidak berbuat, apabila tidak
dilaksankan akan dikenakan sanksi. Dan ada pula yang bersifat sukarela yang
artinya terserah pada kehendak pihak yang bersangkutan apakah bersedia
melaksankan kewajiban atau tidak, sebab kewajiban itu berkaitan dengan
kepentingan sendiri.
6.2 Perjanjian antara pihak-pihak
Hokum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh
perjanjian, maksudnya adalah perjanjian ynag dibuat oleh pihak-pihak itu
menetapkaj diterimanya kewajiban hokum untuk dilaksankan oleh pihak-pihak.
Ada dua macam perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian
harta kekayaan, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak yang
tertombal balik mengenai harta kekayaan.ada dua jenisnya:
a. Perjanjian
yang bersifat obligator, artinya baru dalam taraf melahirkan keajaiban dan hak
b. Perjanjian
yang bersifat zakelijk (kebendaan), artinya dalam taraf memindahkan hak,
sebagai realisasi perjanjian obligator.
2. Perrjanjian
kawin, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami istri secara
tertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjianj ini terletak dalam
bidang moral dan kesusilaan (moral en fatsoen), tidak dapat dinilai dengan uang
6.3 Keputusan Hakim
Hukum perdata juga berlaku karena ditetapkan oleh
Hakim melalui putusannya. Putusan Hakim selalu bersifat memaksa (dwingend),
artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, Hakim dapat memerintahkan pihak
yang bersangkutan supaya mematuhinya dengan kesadaran sedniri. Jiki masih tidak
dipatuhi, Hakim dapat melaksankan putusannya dengan kekerasan (paksa), bila
perlu dengan bantuan alat Negara, misalnya polisi.
6.4 Akibat Berlakunya Hukum Perdata
Sebagai akibat berlakunya hokum perdata ialah adanya
pelasanaan, pemenuhan, realisasi kewajiban hokum perdata. Ada tiga kemungkinan
hasilnya, yaitu:
1. Tercapainya
tujuan, apabila kedua pihak memenuhi kewajiban dan hak tertimbal balik secara
penuh
2. Tidak
mencapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban
3. Terjadi
kejadian yang bukan tujuan, yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hokum
(onrechtmatige daad).
SUMBER:
Muhammad
Abdulkadir,S.H., “Hukum Perdata Indonesia”, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar